Suhu politik pemekaran ini tumbuh subur
dalam elit politik lokal dan nasional, sementara rakyat Papua sendiri dikelabui
Pemerintah dengan berbagai modus guna memuluskan Pemekaran. Kerusakan tanah dan alam papua karena
derasnya investasi, menjadi dasar refleksi bagi kita untuk terus berjuang
melawan keinginan para kapitalisme dan Elit-elit Politik yang rakus akan kekayaan sumber daya alam
papua. Negara dan elitnya semakin diam, dan bahagia melihat segala penderitaan
yang dialami oleh masyarakat kecil.
Segala janji mereka ucapkan demi menahan amukan kemarahan penderitaan
dan korban. Persoalan tidak akan berhenti, segala janji terus diumumkan kepada
rakyat, niat baik disingkirkan , kematian dan kehancuran terus menerus menjadi
cerita indah yang tak terlupakan oleh para korban dan mereka yang kesakitan. Mari bersatu dan melawan segala kebohongan dan
kerakusan mereka yang menginginkan tanah dan manusia papua hancur oleh
kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru ( provinsi ) yang mereka keluarkan.
Politik pemecahan yang dimainkan oleh pemerintah indonesia saat ini salah
satunya untuk memastikan bahwa pergerakan yang terjadi di papua masih berada di
bawah kontrol NKRI, mafia oligarki, dan militer di jakarta. Sumber daya alam
papua ( SDA) dengan mengundang investasi terus-menerus dilakukan untuk
mengekspolitasi alam papua, terutama dalam bidang kehutanan,Kelapa sawit,dan
tambang.
Pemekaran wilayah pada dasarnya tidak memenuhi
kriteria pemekaran itu sendiri dan secara peraturan pemerintah pun diabaikan
poin-poin yang membahas tentang pemekaran wilayah. Landasan pemekaran ini
dibentuk oleh elit politik dan juga bersama pemangku kepentingan yang berusaha
mengklaim hak rakyat Papua untuk dapat bebas mengambil dan menguasai seluruh Sumber
Daya Alam (SDA) dan Hak-hak Dasar Orang Asli Papua.
Semenjak satu tanah besar West Papua dimekarkan
menjadi 2 Provinsi bahkan dari 1 pun itu banyak kesenjangan, banyak persoalan,
dan disitu terlihat jelas pembagian perampasan SDA dan hak dasar OAP/masyarakat
adat oleh korporat, pemerintah dan militer. Apa lagi saat ini ketika 4 wilayah
pemekaran ini berhasil dibentuk maka berbagai persoalan itu tentu lebih miris
lagi.
Transmigrasi dimana-mana, pembukaan lahan (investasi)
dimana-mana, pos-pos militer dibuka diberbagai tempat, propaganda negara
melalui kepolisian daerah, perfilman, media, pendidikan, kesehatan, politik,
dan agama terus dijalankan untuk menghancurkan eksistensi dan ideologi rakyat
Papua
Kenapsuaan para elit lokal dan nasional untuk rencana
pemekaran provinsi ( DOB) dan kabupaten – kabupaten baru di 7 wilayah Adat
Papua. Pemecahan wilayah melalui pemekaran terjadi di tanah papua, perahlian aparat
birokrat dan oligarki agar mendapatkan posisi yang lebih “ Terhormat ” serta membuka arus migrasi
birokrat menjadi sebuah fenomene yang tidak terbantahkan, ujungnya adalah
jaringan etnik dan kekeluargaan yang
menjadi salah satu basis kuat dari kebijakan pemekaran sebuah wilayah. Tentunya
suatu persoalan tidak sesederhana demikian, polaritas di internal etnik di
tanah papua juga terbukti menjadi pemicu dari rencana pemekaran daerah. Dan
juga bertambahnya migrasi penduduk pendatang yang selalu dikhwatirkan dari
pemekaran daerah, migrasi birokrat dan perebutan posisi-posisi jabatan
pemerintahan merupakan perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya dari sebuah
daerah oprasional baru hasil dari pemekaran daerah. Kegelisahan pemekaran
memang menjadi mimpi sebagian warga yang di tipu oleh pejabat lokal dengan
harapan akan mensejahtrakan masyarakat, Namun jika kita lihat dengan teliti,
cita- cita tersebut hanya bermuatan kepentingan ekonomi politik. Argumentasi
yang di kampanyekan oleh para elit lokal yang selalu dibangun adalah tong
pu hak ( Politik) untuk mejadi tuan di negeri sendiri dan meningkatkan
kesejahtraan ekonomi masyarakat pemilik tanah. Tidak ada yang salah dari alasan
ini, jika para elit lokal mengusulkan “Hak
Penentuan nasib Sendiri Bagi Rakyat Papua ( Pemekaran Negara Papua). Implikasi yang
serius dari pemikiran ini adalah terpecahnya ( Kembali ) papua menjadi
lokalitas kekuasaan, kini menjadi semakin kompleks ketika argumentasi suku
dipergunakan sebagai dasar dalam tuntutan pemekaran baik kampung, Distrik,
kabupaten, dan provinsi. Selanjutnya dengan kebijakan pemekaran daerah ini
tentu sangat membawa bencana kehancuran karena akan membuat Tanah Papua kembali terkotak-kotak , dan Hirarki kebudayaan
dan keanekaragaman etnik yang tinggi
telah melihat papua. Dan kini, dengan berlangsungnya pemekaran daerah semakin
menambah kompleksitas persoalan. Tumpang tindih politik pemekaran dan oligarki,
dengan kepentingan primordial suku saling mendominasi perbincangan tentang
isu-isu pemekaran daerah.
Masuknya pemekaran daerah berbagi kepentingan justru
memecah belah kelompok masyarakat/ suku saat ini sembari berhitung keuntungan
ekonomi politik apa yang bisa di dapatkan. Di momen inilah mengimajinasikan
pemekaran daerah sejalan dengan kelompok etnik/ suku menjadi sangat berbahaya
dalam kondisi transformasi papua. Secara ekonomi politik, kesempatan pemekaran
daerah bagi masyarakat setempat adalah peluang untuk meningkatkan kesejahtraan
dan mengelolah secara politik daerah mereka. Namun yang sering terjadi adalah
tersingkirnya masyrakat lokal dari pelayanan public yang layak dan kehilangan
kekuasaan politik untuk mengatur daerahnya sendiri, kedaulatan masyarakat
diambil ahli olah para elit birokrasi dan lapisan – lapisan elit lainnya (
kepala kampung , tokoh adat, agama, dan lainya) yang berkolusi dengan elit
birokrasi dan investasi modal. Pemekaran daerah sama sekali tidak memikirkan
implikasi- implikasi kebudayaan yang akan terjadi selalu menjadi fokus utama
diantaranya adalah gedung pemerintahan, kesipan birokrasi, dan peluang- peluang
ekonomi politik bagi para elit lokal.
Tuntutan pemekaran di berbagi daerah hingga sampe ke
kampung- kampung di tanah papua, seolah-olah menandakan wajah papua hari ini
yang penuh dengan berbagi kepentingan. Namun sayangnya, nasib dari kepentingan
tersebut tidak menjadi tuntutan rakyat
papua sendiri. hampir keselurusah perhatian pembagunan dan dana tersedot untuk
pembangunan infrastruktur katanya! Pada situasi seperti ini, masyarakat hanya
bisa mengharapkan lancurnya biaya ganti rugi saat tanah ulayat mereka
dipergunakan untuk pembagunan pusat pemerintahan provinsi, kabupaten, distrik,
dan kampung baru di tanah papua.
Politik administrasi Negara Indonesia melalui
pemekaran daerah menawarkan Panggung
bagi orang papua untuk mengurus dirinya sendiri dalam berbagi hal. Namun
peluang konflik ini dirancang dan di sediakan dalam pemekaran daerah sebagai sumber konflik yang
berujung perpecahan di tingkatan yang paling kecil dan terekspresikan dalam
kehidupan keseharian masyarakat papua. Ujung dari ini adalah keterpecahan di
tingkat akar rumput yang akan memicu konflik dan kekerasan di tanah papua.
Politik negara merancang tanah papua
Akar persoalanya adalah politik negara yang memang
merancang tanah papua untuk terpecah belah menjadi berbagi provinsi,
kota,kabupaten, distrik, dan kampung-kampung. Yang sudah tentu banyak hal, dari
mulai mungkin niat mulia untuk memutus isolasi keterbelakangan daerah- daerah
di papua maupun niat jahat untuk memecah belah papua agar sibuk berkonflik
antar saudaranya sendiri memperebutkan akses ekonomi politik yang ditawarkan
dalam pemekaran daerah. Namun satu hal yang pasti adalah pemekaran daerah
dilahirkan oleh Negara dalam merespon tuntutan rakyat papua “ Penentuan Nasib
sendiri” rakyat papua untuk merdeka terlepas dari “ penjajahan ” Negara
Indonesia. Program-programnya dilakukan
dengan bujuk rayu pemekaran daerah agar bisa mensejahtrakan masyarakat papua.
Atributnya adalah melalui rangkaian peraturan dan property administrative yang
dibuat secara tumpang tindih dan
“ akal- akalan ” belaka untuk melegalkan pemekaran daerah. Di sisi lain
pendropan Pasukan TNI/ Polri, operasi militer yang terselubung, lajunya korupsi
yang merajalela semasa Orde Baru dan dilanjutkan hingga saat ini oleh pejabat-
pejabat papua, pelanggaran hak asasi manusia ( HAM), serta lajunya deforestasi
sumber daya alam yang gila- gilaan, pengusuran untuk pembagunan, ditambah
dengan lajunya pendatang yang dramatis, dan Perampasan lahan oleh negara dan
perusahan-perusahan.
Rencana dan orientasi Pemerintah tersebut tentunya
membutuhkan upaya dan langkah yang besar untuk diwujudkan, terutama untuk
meyakinkan masyarakat Papua bahwa hal tersebut bukan semata janji janji manis,
karena fakta di lapangan menunjukkan hal lain. Sampai saat ini Papua masih
menjadi wilayah terbelakang dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia.
pembangunan di Tanah Papua yang diharapkan dapat menciptakan keadilan,
kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan antar wilayah, justru berjalan
sebaliknya. Pendekatan keamanan dan paradigma pembangunan yang berorientasi
pada eksploitasi sumber daya alam dan ekstraktif telah memproduksi kehancuran
bagi tanah dan hutan Papua. Investasi dan proyek-proyek perkebunan telah menebas
pohon-pohon hutan Papua menjadi lahan industri. Hutan yang dianggap “mama” bagi
orang-orang Papua, yang menjaga alam dan kehidupan bangsa Papua dengan
sendirinya hancur dan hilang secara perlahan. Pembangunan, dimaknai masyarakat
Papua sebagai upaya “menyingkirkan pemilik tanah dan masyarakat adat dengan
berbagai cara, termasuk dengan kekerasan”. Pembangunan yang kerap bertabrakan
dengan nilai-nilai dan moda produksi yang setelah sekian lama dianut oleh orang
asli Papua.
Pemerintahan
di Jakarta seolah menganggap hal biasa yang tidak memengaruhi proses dan
progres pembangunan. Padahal, secara lahan dan pasti, mengakibatkan lepas dan
hilangnya lahan-lahan adat yang dimiliki secara komunal dan digunakan untuk
kepentingan bersama masyarakat adat di Papua, dan dalam beberapa kasus
mengakibatkan terjadinya konflik internal diantara suku-suku di Tanah Papua,
mantra modernisasi itu mendasari kebijakan transmigrasi sejak tahun 1960an.
Perpindahan penduduk dari Jawa dan Bali ini diikuti dengan perubahan sosial
budaya Papua. Masyarakat Papua dipaksa untuk meninggalkan makanan pokoknya dan
beralih untuk menanam padi dengan demikian juga berubah pula sistem pertanian
masyarakat. Tidak hanya itu, bahasa daerah Papua tidak lagi digunakan karena
para transmigran hanya dapat berbahasa Indonesia, padahal Papua memiliki lebih
dari 200 bahasa suku namun bahasa Indonesia menjadi satu-satunya yang
digunakan.
Tidak
heran, penduduk lokal memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang lebih baik
daripada para migran yang datang. Di institusi formal pun, bahasa daerah tidak
boleh diajarkan. Kebijakan homogenisasi
ini diimplementasikan melalui kontrol politis dan militer yang kuat sehingga
sulit bagi masyarakat Papua untuk melakukan resistensi.
Salah
satu kekerasan atas nama pembangunan adalah apa yang disebut sebagai Operasi
Koteka pada April dan Juni 1977. Untuk
tujuan modernisasi, pemerintah menggelontorkan dana sebesar 205 juta rupiah
untuk mengganti koteka dengan celana
pendek. Nilai ‘keberadaban’ pada orang
Papua dipaksakan melalui kampanye militer oleh angkatan bersenjata dan aparat
birokrasi. Masyarakat suku Dani dipaksa untuk meninggalkan kebudayaanya, pergi
bersekolah dan terintegrasi dengan sistem ekonomi yang moderen. Paradigma
pembangunan yang diimplementasikan pemerintah dipaksakaan merasuki bahkan ke
dalam tubuh dan pikiran orang Papua. Pandangan ini dijustifikasi karena
konstruksi rasis terhadap budaya dan orang Papua yang dianggap ‘terbelakang’
dan ‘primitif’ sehingga perlu untuk digantikan dengan budaya Indonesia yang
dianggap lebih beradab dan modern.
Pemerintahan Joko Widodo,
pembangunan kesejahteraan yang berorientasi pada infrastruktur pun dilakukan.
Berbagai program utama seperti pembangunan Jalan Trans Papua, revitalisasi
jembatan dan airport, elektrifikasi, hingga pendirian kawasan ekonomi dilakukan
dalam kerangka kesejahteraan sosial bagi orang asli Papua. Bagi pemerintah,
pembangunan infrastrutktur dan ekonomi adalah resep manjur bagi kesejahteraan
orang asli Papua. Akan tetapi, tulisan ini menantang narasi kesuksesan
pembangunan infrastruktur dan membawa kita untuk mempertanyakan kembali: apakah
ada perubahan dalam pemekaran wilayah pembangunan dulu dan sekarang? Apa
yang telah dilakukan pembangunan kepada orang Papua? Dan bagaimana
sebenarnya pemekaran hadir bagi
kehidupan orang asli Papua?
Karena
pemekaran wilayah adalah sebuah paradigma politik, maka pemerintah
menjalankannya sesuai dengan imajinasi dan kepentingannya. Masyarakat adat
tidak diberikan kesempatan untuk menentukan model pembangunan yang mereka
butuhkan. Konstruksi rasial terkait keterbelakangan Papua turut berkontribusi
dalam eksklusi masyarakat adat dalam men-setting
agenda pembangunan. Mereka tidak dilihat sebagai pelaksana pembangunan atau
sebagai agensi dalam memutuskan bagaimana seharusnya pembangunan ekonomi,
sosial dan budayanya harus dijalankan.
Pembangunan yang menjamah wilayah-wilayah Papua di
segala penjuru, jelas memerlukan tanah untuk mendirikan infrastruktur fisik.
Selain itu, wujud pembangunan lainnya adalah kebutuhan sumber daya manusia
untuk menggerakkan birokrasi dan perusahaan.
Pemekaran daerah hadir silih berganti dan memunculkan
kelompok-kelompok elit Papua baru dan Hadirnya pembangunan tentu membawa
kesadaran dan pemahaman baru ke dalam masyarakat lokal. Bertemunya ide baru
pembangunan dengan kehidupan masyarakat lokal mendatangkan berbagai implikasi.
Cara pandang program pembangunan terhadap masyarakat bertemu dengan cara
pandang masyarakat melihat pembangunan.
Jika kita menelisik lebih dalam, perspektif
pembangunan yang ditanamkan oleh rezim Orde Baru adalah sebagai perubahan yang dikehendaki
dan dibutuhkan, sehingga apa saja yang dianggap kuno dan tidak mengalami
perubahan dengan sendirinya dianggap sebagai “keterbelakangan”. Hal yang
dianggap terbelakang dan menjadi salah satu yang terpenting adalah kebudayaan
sebagai sebuah totalitas laku hidup dan nilai-nilai komunitas lokal yang
dipandang sebagai penghalang proses pembangunan.
Meresapi kehadiran
deru-deru alat berat membelah hutan marga marga adat di Papua, kita akan dibawa
untuk menghayati bahwa pembangunan “dipaksa” menjadi kesadaran baru yang hadir
dan diterima lepas dari budaya komunitas-komunitas lokal. Pembangunan yang
diintroduksi negara, investasi, dan rezim kapitalisme merasuk dalam kesadaran
masyarakat tempatan bukan sebagai sintesa proses historis budaya-budaya tempatan,
tetapi melalui daya pikat citra sukses pembangunan di negera-negara industri
maju yang didukung kekuatan modal. Lambat laun tapi pasti, tergusurnya
masyarakat tradisional tidak semata-mata merupakan soal hilangnya keaslian
budaya tradisional masyarakat tempatan, tetapi juga merupakan soal hilangnya
pribadi dan rasa percaya diri masyarakat tempatan dan juga masyarakat Indonesia
pada umumnya.
Komentar
Posting Komentar